AGAR ANAK CINTA IBADAH






AGAR ANAK CINTA IBADAH

Dalam beberapa kali pertemuan dengan para orangtua di berbagai forum Parenting saya seringkali bertanya, “mana yang kita pilih terlebih dulu sebagai orangtua, anak-anak yang bisa shalat atau anak yang mencintai shalat ?? anak yang cinta quran atau anak yang bisa membaca quran ?? Dan umumnya jawaban dari para orangtua adalah mereka menginginkan  anak-anaknya lebih dulu “Cinta” daripada” bisa”.Cinta quran dulu daripada bisa baca quran. Cinta shalat lebih dulu ketimbang bisa cara shalat. Entah ini benar-benar keinginan mereka, para orangtua atau sekedar ikut-ikutan, saya sendiri tidak tahu. Namun faktanya banyak diantara kita yang ternyata lebih mempraktikkan agar anak bisa dulu daripada cinta.
Buktinya, banyak orangtua, mungkin juga termasuk saya J lebih sering memilih marah marah jika anak belum atau malas melakukan shalat atau ngaji, daripada merayu mereka agar tertarik dan cinta terhadap amal-amal ibadah mulia tersebut. Kita lebih sedikit memberi kabar gembira, menrangkan keindahan ibadah-ibadah tersebut kepada anak-anak. Dan banyak anak akhirnya bisa shalat, bisa ngaji lebih karena dorongan rasa takut kepada kita sebagai orangtua, bukan karena mereka mencintainya. Hal itu akhirnya menjadi sekedar rutinitas dan bisa jadi malah menguap ketika mereka beranjak dewasa dan merasa bebas dari pengawasan kita, naudzu billah.
Sebagaimana ungkapan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah bahwa yang menggerakkan hati menuju Allah ada tiga perkara: cinta, takut, dan harapan. Dan yang paling kuat adalah cinta. Maka hal inilah seharusnya yang menjadikan kita fokus menanamkan dalam diri anak sejak dini, yaitu perasaan cinta. Cinta akan semakin menguat ketika hal itu diiringi dengan penanaman rasa takut dan harapan. Mudahnya. Ketika anak diterangkan bahwa dengan melakukan ibadah ini atau itu maka ia akan mendapatkan imbalan berupa pahala, maka disini akan tumbuh harapan, ia akan berharap Allah akan memberinya sebuah hadiah. Sebaliknya jika ia malas atau enggan mengerjakan suatu ibadah maka ia akan kehilangan peluang mendapatkan hadiah atau bahkan malah dihukum, maka anak akan takut meninggalkannya. Ia akan semakin rajin dan mencintai hal itu. Inilah pemahaman sederhana yang perlu diterangkan kepada anak. Sebab pemikiran anak yang sederhana seringkali belum nyambung ketika mereka diajak  berpikir hal-hal abstrak seperti surga, neraka, pahala maupun dosa. Meskipun hal-hal tetap wajib diterangkan kepada anak sejak dini. Sebab secara psikologis pikiran anak cenderung simpel dan memahami sesuatu yang mereka hadapi secara nyata.
Sebagai contoh yang mudah saya sering membuat ilustrasi sederhana ketika mengajak anak agar mereka mencintai shalat dan mau melakukannya. Saya terangkan kepada mereka bahwa shalat adalah wujud syukur atau ucapan terimakasih kita kepada Allah yang telah begitu banyak memberi kita hadiah. Mungkin anak akan bertanya apa hadiah itu ??? saya kemudian menjelaskan bahwa tubuh yang sehat, wajah yang cantik atau bagus, ayah dan bunda yang menyayangi, makanan yang enak, teman teman yang baik dan semua yang kita senangi sesungguhnya adalah wujud hadiah atau kasih sayang Allah pada kita, maka kita harus bersyukur. Caranya antara lain dengan mengerjakan shalat. Biasanya Anak akhirnya manggut-manggut dan paham, mereka pun lalu bersemangat mengerjakan shalat. Berharap hadiah yang lebih banyak lagi dari Allah. Kongkrit,..itulah sederhananya dunia anak.
Hal ini perlu dipahami oleh para orangtua maupun pendidik bahwa akal seorang anak belumlah sempurna atau sedang dalam masa perkembangan. Sehingga cara mereka berpikir pun berproses sesuai perkembangan. Inilah yang menjadi salah satu bahasan dalam masalah fiqih  bahwa Akal merupakan syarat yang harus ada dalam diri manusia untuk dapat menerima taklif (beban hukum) dari Allah Azza wa Jalla. Hukum-hukum syari’at tidak berlaku bagi mereka yang tidak menerima taklif.sebagaimana disebutkan dalam hadits
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

رُفِعَ الْقَلَمُ عَنْ ثَلاَثَةٍ: عَنِ النَّائِمِ حَتَّى يَسْتَيْقِظَ، وَعَنِ الصَّبِيِّ حَتَّى يَحْتَلِمَ، وَعَنِ الْمَجْنُوْنِ حَتَّى يَعْقِلَ.


“Pena (catatan pahala dan dosa) diangkat (dibebaskan) dari tiga golongan: orang yang tidur sampai bangun, anak kecil sampai bermimpi (baligh), orang gila sampai ia kembali sadar (berakal).” HR. Abu Dawud
Dengan bekal pengetahuan kedua orangtua dan guru tentang tingkatan pertumbuhan akal anak tentu akan lebih memudahkan mereka untuk memberikan solusi bagi berbagai masalah yang dihadapi anak, bi idznillah. Karena, dengan pengetahuan tersebut, mereka akan mengetahui kapan harus berbicara dengan anak, kalimat apa yang harus dipakai dan pola pikir apa yang hendak diungkapkan.
Ketika bercanda dengan anak, Rasulullah shalallahu ‘alaihi wassalam pun menggunakan media yang sesuai dengan akal dan kemampuan mereka. Beliau bercanda dengan anak dengan menggunakan sesuatu yang akrab dengan dunia anak dan mereka kenali dengan baik. Misalnya ketika beliau shalallahu ‘alaihi wassalam bercanda dengan seorang anak kecil bernama Abu ‘Umair, “Wahai Abu ‘Umair, bagaimana keadaan burung pipit itu?” Beliau menanyakan kabar burung, sebab burung pipit adalah burung yang biasa dipakai sebagai mainan oleh anak kecil itu.
Kembali ke masalah pokok, menanamkan kecintaan ibadah kepada anak adalah pondasi pokok yang perlu kita bangun sejak dini, meski mereka belum memiliki kemampuan melakukan ibadah tersebut secara sempurna. Lambat laun dengan pembiasaan diiringi dengan rasa cinta maka hal itu insyaAllah akan menyatu dalam diri si anak sehingga ibadah sudah menjadi karakter dalam kehidupannya sehari-hari, semoga. (EAF)

Subscribe to receive free email updates:

0 Response to "AGAR ANAK CINTA IBADAH"

Posting Komentar